SEBENARNYA, cukup banyak terjadi di Sumbar aktivitas yang merusak lingkungan. Akibatnya fatal. Bukan harta dan benda saja yang porak poranda. Nyawa manusia pun jadi sasaran. Korban berjatuhan. Asal ada bencana, cenderung nyawa melayang. Orang tua kehilangan anak. Anak jadi yatim, piatu. Atau suami kehilangan istri dan sebaliknya. Begitulah, setiap bencana pasti menimbulkan tangis dan air mata duka.
Di balik terjadinya bencana tersebut, sering manusia penyebabnya. Misalnya aktivitas pertambangan atau proyek pembangunan yang tidak mempedulikan kondisi lingkungan. Perhatikan saja dua berita KORAN PADANG di halaman 7 terbitan Senin (13/3). Pertama, penegasan Gubernur Mahyeldi agar menghentikan pembangunan irigasi ke saluran drainase perumahan di Kelurahan Surau Gadang Nanggalo, Kota Padang. Kedua, penolakan warga terhadsap penambangan pasir di Suliki, Kabupaten Liampuluh Kota yang dinilai berpotensi menimbulkan longsor.
Khusus di Surau Gadang Nanggalo, Gubernur Mahyeldi langsung turun tangan. Pembangunan irigasi melalui perumahan penduduk langsung berhenti. Sementara pertambangan pasir di Suliki, izinnya lengkap dari pusat. Namun, kalau rakyat sudah bertindak, tentu berhenti juga. Sehebat-hebat pusat, diperkirakan yang di bawah pusat lebih berani. Apalagi kalau sudah nyawa terancam, pusat pun biasanya ‘menyerah’.
Sebab, nyawa sangat berharga dibanding harta. Meski suatu pertambangan punya izin lengkap, namun kalau aktivitas pertambangan tersebut berpotensi menimbulkan bencana, tentu bisa ditinjau ulang izinnya. Atau bisa jadi aktivitas pertambangannya yang mungkin tak dilakukan sesuai prosedur. Faktor keamanan itu penting. Apalagi menyangkut nyawa masyarakat.
Tidak diharapkan muncul ‘ulek bulu’ di kawasan utara 50 Kota yang membuat warga di sekitar penambangan pasir di Suliki tersebut jadi ‘terbelah’. Seluruh pemuka warga Suliki dan sekitarnya, termasuk wakil rakyat dan pemerintah daerah mesti satu suara menghadapi persoalan penambangan pasir yang menghebohkan ini. Sebab, problema lingkungan yang membahayakan rakyat wajib diseriusi mengatasi permasalahannya.
Masih banyak sebenarnya di kawasan utara Limapuluh Kota pasir untuk keperluan pembangunan yang tidak merusak lingkungan. Yang perlu adalah kearifan dalam memecahkan masalah melalui ‘baiyo batido’. Pulang maklum pada ninik mamak kita nan gadang basa batuah. *