AGAM, KP – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati meresmikan tower Gas Rumah Kaca (GRK) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global atau Global Atmosphere Watch (GAW) di Bukit Kototabang, Kabupaten Agam, Senin (20/3).
Menurut Dwikorita, tower tersebut dilengkapi dengan sensor meteorologi yang berfungsi melakukan pemantauan di tiga titik ketinggian yakni masing-masing 30 meter, 70 meter, dan 100 meter.
“Pemantauan GRK dari tower ini akan memberikan gambaran profil GRK pada ketinggian yang berbeda dan menjadi wujud kontribusi Indonesia pada umumnya dan BMKG pada khususnya dalam program integrated global greenhouse gas information system (IG3IS),” katanya.
Dwi mengucapkan terimakasih kepada ninik mamak dan tokoh masyarakat yang sudah menghibahkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai tempat operasional GAW Koto Tabang. Ia menilai, bukit Koto Tabang sejak dulu memang dinilai proporsional untuk dijadikan lokasi Global Atmosphere Watch.
“Bukit Koto Tabang sangat ideal untuk operasional Global Atmosphere Watch. GAW Koto Tabang ini merupakan satu dari 30 stasiun jaringan yang dimiliki oleh dunia. Untuk itu, kita berterima kasih kepada tokoh masyarakat yang sudah menghibahkan lahannya,” kata Dwikorita Karnawati.
Peresmian tower GRK itu dilakukan dalam dalam puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73 yang diadakan di Bukit Kototabang. Terkait HMD, Dwikorita Karnawati mengajak seluruh masyarakat berkontribusi menahan kencangnya laju pemanasan global dan perubahan iklim.
Menurutnya, fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, seperti suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.
Dijelaskannya, akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensi terjadinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.
“Contoh yang terbaru adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Natuna yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil namun juga korban jiwa,” tambah Dwikorita.
Ia memamparkan, perubahan iklim menjadi isu yang harus diperhatikan karena memiliki dampak dan resiko yang besar pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang.
“Karenanya, perlu aksi pengendalian perubahan iklim yang konkret dari seluruh lapisan masyarakat,” ungkap Dwikorita Karnawati
Peringatan HMD yang jatuh pada 23 Maret mendatang merupakan tanggal yang mengacu pada konvensi meteorologi 23 maret 1950. Konvensi tersebut merupakan rangkaian panjang dari berdirinya badan cuaca di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa, yaitu Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO). Peringatan HMD tahun 2023 ini mengambil tema ‘the future of weather, climate, and water across generations’ atau ‘masa depan cuaca, iklim, dan air untuk lintas generasi’.
Dwikorita menyebut, bentuk kontribusi yang dapat dilakukan dapat dimulai dari hal-hal yang terlihat gampang dan sepele. Mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menerapkan reduce, reuse, recycle (3R) sampah, menanam tanaman atau pohon, berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum dan hemat energi. (mas)