JAKARTA, KP – Rapat Komisi III DPR bersama Menkopolhukam Mahfud MD berlangsung panas, Rabu sore (29/3). Rapat tersebut membahas transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan.
Ketika membuka paparannya, Mahfud menegaskan bahwa posisi atau kedudukan pemerintah dan DPR sejajar. Karena itu, kata dia, sudah sepantasnya tidak saling menuding.
“Kedudukan DPR dan pemerintah sejajar, oleh sebab itu kita harus bersama bersikap sejajar,” kata Mahfud.
Ia meminta DPR tak asal menuduh, menggertak, maupun mengancam dirinya atas langkahnya mengumumkan adanya transaksi mencurigakan mencapai ratusan triliun rupiah tersebut.
“Jangan gertak-gertak, saya juga bisa gertak. (Kalian) bisa dihukum menghalangi penegakan hukum,” kata Mahfud.
Sebelum menyelesaikan paparannya, salah seorang anggota Komisi III DPR melakukan interupsi. Namun Mahfud menyergahnya.
“Saya tiap ke sini dikeroyok. Belum ngomong diinterupsi,” tukas Mahfud.
Mahfud mengungkapkan bahwa kasus serupa pernah terjadi. Pada saat itu pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunandi berusaha menghalangi penegakan hukum. Makhamah Agung (MA) lantas memperberat hukuman Fredrich menjadi 7,5 tahun dari 7 tahun.
“Orang mau mengungkap dihantam. Sama seperti saudara kerjanya dengan Fredrich Yunandi melindungi Setya Novanto, ‘kan tidak boleh, lalu dia melaporkan sembarangan orang. Menghalang-halangi penyidikan, menghalangi penegakan hukum, lalu tangkap. Jadi, jangan main ancam-ancam begitu, kita ini sama,” kata dia.
Hal itu dikemukan Mahfud merespons pernyataan anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang menyebutkan bahwa laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal transaksi mencurigakan itu seharusnya tidak boleh diumumkan ke publik. Pasalnya, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan ada ancaman pidana 4 tahun bagi yang membocorkan.
“Beranikah Saudara Arteri bilang begitu kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Pak Budi Gunawan? Pak Budi Gunawan itu anak buah langsung Presiden, bukan anak buah Menkopolhukam, melainkan setiap minggu laporan resmi info intelijen kepada Menkopolhukam,” tambahnya.
Ditegaskannya, Menkopolhukam memiliki hak untuk mengumumkan suatu informasi ke publik. Hal tersebut sudah sering sehingga dia mempertanyakan mengapa persoalan ini baru menjadi ramai.
“Saya umumkan dan saudara diam saja. Kita yang umumkan kasus Indosurya yang sampai sekarang bebas di pengadilan, kita tangkap lagi, karena kasusnya banyak, kok baru ribut soal ini,” tutur Mahfud.
Selain itu, tambahnya, pada saat penangkapan Gubernur Papua Lukas Enembe banyak warga Papua yang turun ke jalanan. Untuk itu, dia meminta PPATK mengungkap persoalan itu dan membekukan uang Lukas Enembe.
“Kalau tidak begitu, tidak bisa ditangkap. Kita tahu dari Intel Polri. ‘Pak kateringnya tiap hari turun, itu sudah tidak ada kekuatannya, itu ‘kan intel, masa tidak boleh,” imbuhnya.
Mahfud MD Sebut DPR Markus
Tak hanya itu, Mahfud juga melontarkan pernyataan yang membuat banyak anggota Komisi III berang. Mahfud merasa aneh dengan DPR, karena acap kali marah-marah dalam rapat namun belakangan titip kasus.
“Sering di DPR ini aneh. Kadangkala marah-marah gitu, enggak tahunya markus dia. Marah ke Jaksa Agung. Nantinya datang ke kantor Kejagung titip kasus,” kata Mahfud.
Pernyataan Mahfud itu langsung menuai respons keras dari sejumlah anggota Komisi III yang hadir dalam rapat. Mereka mengajukan interupsi.
“Pimpinan mohon dicatat. Saya kebetulan pimpinan MKD. Saya minta Pak Mahfud apa memang benar ada data yang soal markus anggota DPR, disampaikan saja sekarang,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman.
“Saya sampaikan sekarang,” sergah Mahfud.
TIGA KATEGORI TRANSAKSI JANGGAL
Dalam rapat itu, Menko Polhukam Mahfud MD membeberkan pengelompokan transaksi janggal Rp349 triliun dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR. Mahfud yang juga Ketua komite koordinasi nasional pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatakan transaksi janggal tersebut terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kementerian Keuangan. Kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kementerian Keuangan. Ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kementerian Keuangan sebagai penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kementerian Keuangan.
“Transaksi keuangan Rp349 triliun dibagi ketiga kelompok. Satu transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu. Kemarin ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp3 triliun, yang benar Rp35 triliun,” ungkap Mahfud.
“Kemudian, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu, itu besarnya Rp53 triliun plus sekian,” sambungnya.
Kemudian, kata Mahfud, tansaksi keuangan kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data, sebesar Rp260 triliun.
“Sehingga jumlahnya Rp349 triliun fix, nanti kita tunjukan suratnya,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan, PPATK telah melaporkan temuannya kepada Kementerian Keuangan. Namun tidak diterima langsung oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
“Ketika ditanya, Bu Menteri kaget karena tidak masuk laporannya, karena yang menerima surat orang yang di situ, yang bilang ke Bu Sri Mulyani, ‘Bu, ndak ada surat itu’,” katanya.
Mahfud menceritakan, Sri Mulyani sempat bertanya kepada jajaran eselon I Kemenkeu terkait temuan transaksi mencurigakan Rp189 triliun pada tanggal 14 Maret 2023 lalu. Transaksi mencurigakan yang ditanyakan Sri Mulyani itu berdasarkan temuan PPATK pada tahun 2017. Pejabat eselon I Kemenkeu itu, kata Mahfud, malah membantah adanya temuan tersebut. Namun, Mahfud tak merinci nama pejabat eselon I Kemenkeu mana yang membantah tersebut.
“Ketika ditanya bu Sri Mulyani, ‘ini apa ada uang Rp189 (triliun)?’ Pejabat tingginya eselon I bilang, ‘enggak ada bu di sini,” kata Mahfud.
Ketika pejabat eselon I Kemenkeu itu membantah, Mahfud mengatakan Sri Mulyani menunjukkan ada surat dari PPATK sejak tahun 2020 soal transaksi mencurigakan Rp189 triliun. Namun, pejabat eselon I Kemenkeu itu membantahnya lagi.
Kemudian, Mahfud mengatakan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana yang hadir pada kesempatan bersama Sri Mulyani itu justru menunjukkan surat yang valid. Melihat itu, Mahfud mengatakan pejabat eselon I Kemenkeu itu langsung melakukan penelitian lebih lanjut.
“Baru dia (pejabat eselon I Kemenkeu) bilang, ‘oh iya itu nanti dicari’,” kata dia.
Mahfud menjelaskan, temuan Rp189 triliun itu merupakan dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas terkait impor emas batangan. Surat cukai itu, kata Mahfud, diduga dimanipulasi dengan keterangan ’emas mentah’. Padahal sudah terbentuk emas batangan.
“Impor emas batangan yang mahal itu. Tapi di surat cukainya itu emas mentah. “Bagaimana kamu kan emasnya udah jadi, kok bilang emas mentah? ‘Enggak, ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya’, di cari ke Surabaya dan enggak ada. Itu menyangkut uang miliaran tapi enggak diperiksa,” kata dia.
Mahfud mengungkapkan, temuan laporan transaksi mencurigakan Rp189 triliun itu diberikan oleh PPATK pada tahun 2017 ke Kementerian Keuangan melalui Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu, dan dua orang lainnya. Namun, ia mengatakan laporan itu tidak berbentuk surat lantaran sensitif.
Kemudian, PPATK baru mengirimkan surat resmi kepada Kemenkeu tahun 2020 lantaran tak ada tindak lanjut sejak laporan tahun 2017 diberikan. Namun, Mahfud mengatakan surat PPATK tahun 2020 itu tak sampai ke Sri Mulyani.
“Dua tahun enggak muncul, tahun 2020 dikirim lagi (surat) enggak sampai juga ke bu Sri Mulyani,” cetus Mahfud. (kdi/ilc)