Home » Ironi yang Menyayat Hati

Ironi yang Menyayat Hati

Redaksi
2 menit baca

Padang Pariaman punya cerita, sayangnya bukan cerita yang membanggakan. Di tengah bulan suci Ramadan, saat seharusnya umat berlomba-lomba dalam kebaikan, justru terjadi peristiwa yang mencoreng nilai-nilai agama dan budaya.

Seperti diberitakan KORAN PADANG edisi Kamis (13/1), Kapolres Padang Pariaman, AKBP Ahmad Faisol Amir, mengungkapkan bahwa kasus pencabulan anak di wilayah hukumnya terus meningkat dalam tiga bulan terakhir. Sebanyak 14 laporan masuk ke Polres Padang Pariaman, dengan 10 tersangka telah ditangkap dan tiga pelaku lainnya masih buron. Dari segi usia, para pelaku tindak asusila ini mulai dari remaja hingga lanjut usia 60 tahun ke atas.

Perbuatan mereka bukan hanya menyengsarakan diri mereka sendiri, tetapi juga mencemarkan kampung halaman dan menghancurkan nama baik keluarga. Belum lagi memperhitungkan kondisi korban yang tentunya mengalami trauma berat.

Kampung yang selama ini dikenal dengan nilai-nilai disiplin dan adat yang kuat, kini ternodai oleh ulah segelintir warga yang kehilangan kendali. Akibat perbuatan itu, bukan hanya mereka yang harus menjalani hukuman, tetapi keluarga pun turut menanggung beban sosial yang tidak ringan.

Tragedi ini menjadi ironi di tengah bulan suci Ramadan. Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat. Tradisi kuat yang selama ini dijunjung tinggi ternyata belum cukup menjadi benteng. Di sinilah peran keluarga dan lingkungan benar-benar diuji. Pendidikan moral dan agama yang selama ini diajarkan di rumah dan sekolah, seolah kehilangan makna ketika nafsu dan godaan dunia mengambil alih akal sehat.

Namun, sesedih dan semarah apa pun kita, tak ada gunanya hanya mengutuk. Yang lebih penting adalah mengambil hikmah dari peristiwa ini. Selain menyalahkan pelaku, kita juga patut merenungkan di mana letak kekurangan kita sebagai masyarakat dalam mendidik dan membimbing mereka. Kejadian ini seharusnya menjadi cambuk bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap perkembangan moral, khususnya generasi muda.

Di tengah cobaan ini, kesabaran dan introspeksi menjadi kunci. Masyarakat harus kembali memperkuat nilai-nilai agama dan budaya, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata. Jangan sampai tragedi ini terulang kembali. Ramadan seharusnya menjadi waktu untuk memperbaiki diri, bukan malah tenggelam dalam dosa. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua agar lebih waspada dan menjaga anak-anak kita dari jalan yang keliru. *

Jangan Lewatkan