a
ngka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Sesuai dengan data laporan Statistik Indonesia tahun 2023, terhitung pada tahun 2022 jumlah kasus perceraian di Indonesia sekitar 516.334, yang mana hal ini mengalami peningkatan sebanyak 15,31% daripada tahun sebelumnya, yakni tahun 2021 yang tercatat sebanyak 447.743 kasus (Najmuddin dkk., 2023). Kasus perceraian ini disebabkan dari berbagai macam masalah internal atau eksternal dari pasangan yang telah menikah. Keputusan untuk bercerai umumnya dilakukan untuk kebaikan kedua belah pihak antara pasangan, tanpa memperhatikan korban dari perceraian itu sendiri (Asfiyah & Ilham, 2019). Tentunya korban dari perceraian adalah anak. Anak yang menjadi korban dari perceraian atau keretakan rumah tangga juga disebut sebagai (broken home). Adanya kondisi keluarga broken home ini memberikan pengalaman traumatis karena akan menyebabkan perasaan sedih serta takut pada diri anak tersebut. Selain itu, dapat memberikan contoh atau implikasi yang cenderung negatif pada kesehatan mental anak. Sehingga anak tumbuh dengan jiwa yang tidak sehat nantinya. Oleh karena itu, saya percaya bahwa kondisi keluarga broken home akibat dari perceraian orang tua akan berdampak terhadap kesehatan mental anak.
Perceraian adalah peristiwa perpisahan yang resmi antara pasangan suami istri atau putusnya hubungan antara suami istri secara resmi secara hukum atau agama (Oktora, 2021). Hal tersebut dapat terjadi karena ketidakcocokan pasangan sehingga menyebabkan rumah tangga yang tidak harmonis. Perceraian merupakan peristiwa yang tidak diinginkan baik dari sisi pasangan maupun keluarga itu sendiri. Terjadinya peristiwa perceraian ini akan berdampak pada berbagai hal yang tidak menyenangkan serta kepahitan yang dirasakan oleh seluruh pihak, yakni kedua belah pihak dari pasangan, anak-anak dan kedua keluarga besar. Pada peristiwa perceraian ini memberikan dampak yang sangat buruk pada anak, yaitu anak dapat membenci kedua orang tuanya, anak mengungkapkan kemarahan pada kedua orang tuanya, trauma yang membekas sehingga menyebabkan anak takut untuk menikah atau takut dalam menerima orang tua tirinya kelak, dan anak mungkin saja akan menjadi pemberontak karena ketidakstabilan jiwanya. Sehingga, bagi anak dampak perceraian ini sendiri dapat mengganggu kesehatan mentalnya.
Kesehatan mental merupakan kondisi kesejahteraan yang dimiliki individu sehingga ia dapat menyadari potensi diri serta dapat mengatasi tekanan hidup yang wajar, dapat bekerja secara produktif dan ikut serta berkontribusi terhadap komunitas yang diikutinya (World Health Organization, 2016). Selain itu kesehatan mental juga dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan orang lain, masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Ketika mental kurang sehat, umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam menghadapi kenyataan dalam hidupnya yang mana pada akhirnya dapat menyebabkan konflik mental dalam dirinya (Hidayat dkk., 2023). Peristiwa perceraian dapat menjadi salah satu pemicu gangguan kesehatan mental anak. Anak merasa tertekan jiwanya dalam menghadapi kenyataan pahit tersebut dalam hidupnya. Peristiwa perceraian ini akan menyebabkan kondisi keluarga broken home yang mana hal ini berdampak pada kesehatan mental anak karena pecahnya sebuah keluarga.
Keluarga merupakan tempat utama anak dalam bersosialisasi serta memiliki peranan yang penting dalam pengembangan jiwa dan kepribadian anak. Selain itu, keluarga adalah tempat pertama bagi individu untuk mempelajari berbagai macam hal seperti, norma, nilai, dan budaya yang ada di lingkungan masyarakat (Ilhamuddin, 2023). Di dalam keluarga ini lah anak pertama kali mengenal arti kehidupan, kasih sayang, simpati, memperoleh bimbingan, pendidikan dan terbentuknya suasana yang aman. Selain itu, keluarga juga memiliki pengaruh yang besar terhadap karakter serta kesehatan mental anak. Walaupun demikian, faktanya tidak semua keluarga dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
Kondisi keluarga broken home merupakan keadaan rumah tangga yang tidak rukun, karena umumnya terjadi ketegangan atau perselisihan yang dapat berujung pada pertengkaran dan pada akhirnya berujung pada perceraian (Mistiani, 2018). Namun, keluarga broken home tidak hanya sebatas anak yang memiliki orang tua yang telah bercerai saja, tetapi juga dari keluarga yang tidak harmonis atau tidak utuh. Kondisi broken home terbagi menjadi dua aspek, yaitu keluarga yang tidak lagi utuh karena adanya salah satu dari orang tua yang meninggal dunia atau bercerai, dan keluarga yang orang tuanya tidak bercerai tetapi sering bertengkar atau tidak menunjukkan hubungan kasih sayang antara satu sama lain (Wilis, 2015). Terdapat beberapa penyebab terciptanya kondisi keluarga yang broken home, yaitu orang tua yang telah bercerai, kebudayaan bisu dalam keluarga, dan perang dingin yang terjadi di dalam lingkungan keluarga.
Timbulnya kondisi broken home ini juga dapat menyebabkan renggangnya hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak. Selain itu, terjadinya kondisi keluarga broken home dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mencakup kondisi ekonomi, pengaruh wanita lain dan kenakalan anak (Mistiani, 2018). Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu dari faktor kebahagiaan dalam sebuah perkawinan adalah kehidupan ekonomi atau finansial. Kondisi ekonomi yang kurang memadai dalam pemenuhan kebutuhan hidup akan memberikan dampak negatif dalam keberlangsungan hidup berumah tangga.
Orang tua yang telah bercerai menandakan bahwa kehidupan antara suami dan istri tidak lagi dipenuhi dengan kasih sayang, serta goyahnya keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis.
Perceraian dapat terjadi karena faktor ekonomi (Habib, 2020). Meningkatnya biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mana mencakup biaya sekolah, serta kebutuhan – kebutuhan lainnya yang juga tak kalah penting untuk dipenuhi juga menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik pertengkaran dan berujung pada perceraian jika hal tersebut tidak dapat tercukupi. Peristiwa perceraian orang tua ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental anak.
Faktor yang mengakibatkan kondisi keluarga broken home selanjutnya adalah pengaruh wanita idaman lain. Terkadang adanya hubungan yang terjalin antara suami dan wanita lain atau istri dan pria lain menjadi pemicu terjadinya keluarga broken home. Terjalinnya hubungan seperti ini umumnya disebut sebagai perselingkuhan. Perselingkuhan adalah kegiatan seksual atau emosional yang dilakukan oleh salah satu atau kedua individu yang berpasangan atau sedang berada dalam hubungan yang berkomitmen dengan individu lain yang bukan pasangannya sehingga mengikari kepercayaan serta norma – norma baik yang terlihat maupun tidak terlihat (Muhajarah, 2017). Pelaku dari perselingkuhan ini umumnya dilakukan oleh pria, sedangkan wanita hanya sekitar 10%.
Secara garis besar di kota-kota besar, penyebab dari perselingkuhan ini sendiri adalah kedekatan yang timbul dengan teman kantor kemudian akhirnya saling mencintai. Dengan keadaan ini, akhirnya istri atau suami yang berselingkuh akan mencari alasan dan mengakibatkan rumah tangga mereka berakhir atau bercerai. Sehingga hal yang paling rumit yang akan dihadapi oleh anak adalah menentukan pilihan untuk ikut bersama ayah atau ibunya sebagai penanggung jawab atas segala kebutuhan dan biaya sekolahnya (Mistiani, 2018). Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kesehatan mental anak. Anak cenderung tidak mampu untuk menerima akibat dari perceraian kedua orang tuanya karena hubungan lain yang dimiliki oleh ayah atau ibunya dan hal ini dapat menyebabkan gangguan pada anak, salah satunya adalah gangguan kesehatan mental.
Faktor selanjutnya yang menyebabkan kondisi keluarga broken home adalah faktor kenakalan anak (Mistiani, 2018). Kenakalan anak dapat terjadi karena anak menganggap dirinya sudah dewasa dan tidak membutuhkan bantuan orang tuanya lagi. Sehingga ketika ia tidak memperoleh perhatian dari orang tuanya, ia akan melakukan segalanya dengan bebas tanpa mempertimbangkan konsekuensi atau akibat yang dapat ditimbulkan setelahnya. Selain itu, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dapat menyebabkan dampak negatif yang menjadi pemicu terjadinya kenakalan anak, seperti melihat video dewasa, konsumsi obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya. Kenakalan anak juga berkaitan erat dengan faktor lingkungan, lingkungan yang kurang baik atau tidak aman akan mempengaruhi perilaku anak, sehingga anak bisa saja ikut serta dalam kegiatan yang tidak baik seperti tawuran dan pergaulan bebas. Hal tersebut dapat menyebabkan renggangnya hubungan antara orang tua dan anak, serta menyebabkan keadaan keluarga yang broken home.
Kondisi keluarga broken home ini tentunya akan berdampak kepada anak. Dalam berbagai studi mengenai hubungan keluarga broken home dengan anak memiliki dampak yang berfokus pada dua hal, yaitu terhadap pendidikan yang mencakup prestasi belajar anak dan dampaknya terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak, seperti penyimpangan sosial atau perilaku kenakalan (Ariyanto, 2023). Anak yang memiliki keluarga broken home terkadang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kasih sayang, perhatian atau salah satu orang tua tidak ikut serta memberikan perannya sebagai orang tua pada saat proses perkembangan pendidikan anak, sehingga anak merasakan hilangnya salah satu figure orang tuanya yang seharusnya menjadi contoh teladan dalam berperilaku bagi anak – anaknya.
Keluarga broken home akibat peristiwa perceraian juga akan berdampak kepada anak, yaitu berupa tekanan jiwa, emosi yang tidak terkontrol, senang menyendiri, menarik diri dari lingkungan sosial dan pola perilaku yang kurang baik (Hidayat dkk., 2023). Tekanan jiwa yang dirasakan anak yang memiliki kondisi keluarga broken home akan berdampak pada kesehatan mental yang mana akan mempengaruhi kondisi emosional anak dan pola perilaku yang ditunjukkannya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan, menyatakan anak yang berasal dari keluarga broken home memiliki pola perilaku bermasalah atau pola perilaku negatif (Yusmaniar dalam Yens dkk., 2023). Beberapa contoh perilaku bermasalah yang timbul, seperti terlambat masuk kelas, membolos, merokok, tidak mematuhi peraturan sekolah, dan lain sebagainya.
Keluarga broken home tentunya dapat mempengaruhi kondisi psikologis secara signifikan pada anak. Sehingga anak korban keluarga broken home terkadang menunjukkan tindakan anti-sosial dan tidak bermoral. Hal tersebut mencakup, berkata kasar, melakukan tindakan pencurian, melarikan diri dari rumah, tidak disiplin dengan peraturan, membawa senjata tajam, merokok, ikut terlibat dalam perkelahian, merusak barang, dan kebut-kebutan di jalan (Yens dkk., 2023). Tidak hanya itu, bahkan mereka memiliki kemungkinan untuk terlibat dalam berbagai tindakan yang melanggar hukum, seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, hubungan seks bebas, penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, serta tindakan kekerasan (Savitri, 2016).
Selain itu, terdapat beberapa dampak psikologis lainnya terhadap anak yang mana juga akan berpengaruh pada kesehatan mental anak nantinya, seperti gangguan emosional, harga diri yang rendah, gangguan dalam hubungan interpersonal, dan risiko perilaku yang tidak sehat (Santrock, 2011). Gangguan emosional yang dapat dirasakan oleh anak korban keluarga broken home, seperti kecenderungan merasakan kecemasan, ketidakstabilan emosi, dan depresi. Hal tersebut dapat terjadi karena munculnya perasaan tidak aman yang dialami anak saat berada dalam keluarganya. Harga diri yang rendah, dapat dirasakan oleh anak yang menjadi korban keluarga broken home. Hal tersebut dapat terjadi karena ia merasa keluarganya tidak sesuai dengan standar yang ada di masyarakat pada umumnya, sehingga hal ini dapat berdampak pada perkembangan sosial dan kognitif anak.
Gangguan dalam menjalin hubungan interpersonal juga dapat dirasakan oleh anak yang menjadi korban keluarga broken home. Ia kemungkinan akan kesulitan dalam membentuk hubungan interpersonal dengan orang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena anak kurang memiliki keterampilan dan kemampuan dalam membentuk hubungan dengan individu lainnya. Risiko perilaku tidak sehat juga dapat muncul pada anak yang menjadi korban dari keluarga broken home. Anak yang menjadi korban dari keluarga broken home akan memiliki kecenderungan lebih rentan untuk melakukan perilaku yang tidak sehat, yang mana hal ini juga mencakup pada perilaku anti-sosial, perilaku tidak bermoral, perilaku bermasalah dan perilaku menyimpang. Hal tersebut dilakukannya untuk mengatasi perasaan tidak aman serta ketidakpastian yang dirasakannya.
Hal tersebut terjadi karena anak kehilangan kasih sayang dari orang tuanya atau tidak memperoleh kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya akibat peristiwa perceraian yang mengakibatkan kondisi keluarganya menjadi broken home. Kurangnya perhatian serta kasih sayang yang diperoleh anak dari keluarganya dapat menyebabkan kesejahteraan psikologis cenderung menjadi rendah yang mana hal ini juga memiliki kaitan yang erat dengan kondisi kesehatan mental anak. Jika individu mencapai kondisi kesejahteraan psikologis maka ia memiliki kesehatan mental yang baik. Anak dengan kondisi keluarga broken home cenderung mengalami berkurangnya kasih sayang yang akan diperoleh dari kedua orang tuanya (Nurnaningsih dkk., 2022).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi keluarga broken home akibat dari perceraian kedua orang tua memiliki dampak terhadap kesehatan mental anak. Anak yang menjadi korban dari kondisi keluarga broken home ini cenderung memiliki kesehatan mental yang buruk. Hal ini terjadi karena kondisi keluarga broken home berdampak pada psikologis anak yang mana juga akan berpengaruh pada kesehatan mental anak, seperti gangguan emosional, harga diri yang rendah, gangguan dalam hubungan interpersonal, dan risiko perilaku yang tidak sehat yang mana perilaku tidak sehat ini mencakup pada perilaku bermasalah, perilaku menyimpang, perilaku anti-sosial dan perilaku tidak bermoral. Seluruh dampak psikologis yang ditimbulkan dari kondisi keluarga broken home akibat perceraian ini terjadi karena pecahnya keutuhan suatu keluarga yang menyebabkan kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua yang dibutuhkan anak dalam proses perkembangannya. Sehingga ketika hal tersebut tidak dapat terpenuhi secara maksimal maka akan menghambat kondisi psikologis anak yang akan berdampak pada kesehatan mental anak nantinya. (*)