Home » Menag Nasaruddin Sebut Korupsi Kejahatan Kemanusiaan

Menag Nasaruddin Sebut Korupsi Kejahatan Kemanusiaan

Redaksi
2 menit baca

JAKARTA, KP – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menilai, korupsi adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurutnya, hukuman neraka bagi pelaku korupsi akan jauh lebih berat dibandingkan dengan pelaku pencurian biasa.

“Orang yang melakukan korupsi sejatinya telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujar Nasaruddin, dalam acara talkshow Ramadan Antikorupsi di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Rabu (12/3).

Nasaruddin menekankan bahwa korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan harus terus disuarakan di setiap rumah ibadah. Hal tersebut juga bertujuan agar nilai-nilai anti-korupsi dapat tertanam dengan kuat di kalangan masyarakat, sehingga semakin menyadarkan setiap orang tentang bahaya korupsi.

Nasaruddin Umar menjelaskan, perbedaan antara pencurian biasa dan korupsi. Pencurian biasa hanya merugikan korban individu, sementara korupsi memiliki dampak yang jauh lebih luas, dengan merugikan banyak orang.

Menag pun memberikan contoh, ia menyebutkan bagaimana uang pajak yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat malah diselewengkan.

“Imam Ghazali mengatakan, salah satu syarat tobat adalah mengembalikan barang yang pernah diambil dari orang lain. Jika 280 juta umat Indonesia adalah pembayar pajak, apakah bisa mengembalikan uang mereka satu per satu? Tentu tidak,” tuturnya.

Sementara, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto mengemukakan pendapatnya soal penerapan hukuman mati bagi pelaku kasus korupsi. Ia menyebut, sebetulnya sudah ada ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur penerapan hukuman mati bagi para pelaku korupsi. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

“Tetapi memang sampai saat ini belum pernah diterapkan,” ungkapnya.

Meski begitu, Fitroh menegaskan, bisa saja hukuman mati diterapkan terhadap para pelaku korupsi agar dapat memberikan efek jera.

“Saya pikir nanti kalau misalnya ada korupsi yang luar biasa, yang kemudian dilakukan dalam keadaan tertentu yang sangat merugikan, bisa saja hukuman mati itu diterapkan. Dengan harapan mampu menjadikan efek jera,” ujar Fitroh.

Terpisah, juru bicara Mahkamah Agung, Yanto, membenarkan bahwa hukuman paling berat terhadap koruptor dalam keadaan tertentu adalah pidana mati. Hukuman itu diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Dalam keadaan tertentu itu, misalnya korupsi waktu bencana alam, korupsi pada waktu krisis moneter, korupsi pada waktu perang, seperti itu,” kata Yanto.

Meski sudah ada aturan tersebut, hingga saat ini belum pernah ada koruptor di Indonesia yang divonis paling berat berupa berupa pidana mati. (bsc)

Jangan Lewatkan