Home » Tekanan Hidup Adalah Akar Kejahatan: Tragedi Hafiza Lewat Kacamata Sosio-Psikologis

Tekanan Hidup Adalah Akar Kejahatan: Tragedi Hafiza Lewat Kacamata Sosio-Psikologis

Oleh: Melissa Alya Tiffany (Mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Andalas)

Redaksi
A+A-
Reset

KASUS pembunuhan Hafiza menjadi sorotan publik dan media karena menyisakan pertanyaan besar: mengapa seseorang bisa sampai melakukan tindakan sekejam itu? Dalam pemberitaan disebutkan bahwa motif pelaku berkaitan dengan persoalan ekonomi dan tekanan psikologis.

Hafiza yang berusia 8 tahun ditemukan dalam keadaan meninggal dunia dengan kondisi mengenaskan, di perkebunan sawit Bukit Intan Bine PT BPL, Desa Ibul Kecamatan Simpang Teritip, Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung, pada 9 Maret 2023 silam.

Dari hasil penyelidikan pihak kepolisian, pelaku pembunuhan adalah seorang remaja berinisial AC (17 tahun), warga Desa Terentang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat. Pelaku ditangkap pada 14 Maret 2023 di kediamannya.

Polisi menyatakan, motif pelaku melakukan penculikan dan pembunuhan adalah untuk meminta tebusan uang. Sebab, keluarga korban terbilang keluarga mampu di kawasan perumahan kebun sawit tersebut. Sehingga pelaku melakukan hal demikian.

Jika hanya dilihat secara hitam-putih, tindakan tersebut memang pantas disebut sebagai kejahatan yang harus dihukum. Namun dalam kajian ilmu sosial, khususnya sosiologi dan psikologi sosial, kasus seperti ini justru menjadi bahan refleksi yang dalam bahwa perilaku manusia, termasuk tindakan menyimpang atau kekerasan, sering kali merupakan hasil dari interaksi kompleks antara kondisi kejiwaan dan lingkungan sosial yang melingkupinya.

Teori sosio-psikologis memberikan sudut pandang yang sangat relevan untuk memahami kasus ini. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor internal seperti niat atau moralitas, tetapi juga oleh faktor eksternal seperti tekanan sosial, status ekonomi, relasi sosial, dan pengalaman hidup.

Dalam kasus Hafiza, pelaku diduga mengalami tekanan ekonomi yang berat. Dalam masyarakat kita saat ini, tekanan finansial bisa menjadi sumber stres yang luar biasa, terutama jika pelaku merasa tidak punya pilihan atau jalan keluar dari kesulitan hidupnya. Ketika seseorang hidup dalam kondisi yang serba terbatas dan merasa tidak didukung oleh lingkungan, rasa frustrasi yang terus menumpuk dapat berkembang menjadi kemarahan atau tindakan agresif.

Selain faktor ekonomi, dimensi psikologis juga sangat berperan. Tekanan batin, stres, bahkan potensi gangguan mental bisa menjadi pemicu tindakan menyimpang jika tidak ditangani dengan tepat. Banyak orang yang secara luar tampak biasa saja, namun di dalam dirinya menyimpan beban emosional yang besar.

Tanpa dukungan moral, sosial, atau bahkan fasilitas kesehatan mental yang memadai, individu bisa kehilangan kendali atas emosinya. Jika situasi ini terus dibiarkan, dan kemudian muncul pemicu atau dorongan tertentu, tindakan kekerasan bisa saja terjadi bahkan terhadap orang yang mungkin tidak bersalah.

Lebih jauh lagi, teori sosio-psikologis mengingatkan kita bahwa perilaku menyimpang juga bisa terjadi karena kegagalan sosialisasi. Artinya, jika seseorang tumbuh di lingkungan yang tidak memberikan pemahaman nilai moral, etika, dan batasan perilaku yang jelas, maka ia akan lebih rentan menyimpang.

Begitu juga bila lingkungan sekitar permisif terhadap kekerasan, atau justru menormalkan perilaku manipulatif dan tidak jujur, maka seseorang bisa mengembangkan pola pikir yang menyimpang dari norma masyarakat.

Dalam kasus Hafiza, kita tidak hanya perlu melihat siapa pelakunya, tetapi juga perlu bertanya: bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis pelaku selama ini? Apa yang membuatnya merasa tidak memiliki kontrol atas tindakannya?

Melihat dari semua sudut ini, kasus pembunuhan Hafiza adalah potret nyata bahwa persoalan kriminal tidak bisa selalu diselesaikan dengan hukuman semata. Kita butuh pendekatan yang lebih menyeluruh. Pencegahan kejahatan harus dimulai dari hal-hal mendasar seperti memastikan pendidikan moral yang merata, membangun lingkungan sosial yang sehat, memperkuat jaring pengaman ekonomi masyarakat kecil, serta membuka akses luas terhadap layanan kesehatan mental.

Negara, keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bersama-sama membentuk sistem yang tidak hanya menghukum, tetapi juga merangkul, mendidik, dan memulihkan. Karena sering kali, tindakan kejam yang dilakukan seseorang bukan semata-mata karena ia jahat, tetapi karena ia terluka, tersingkir, atau tidak pernah benar-benar didengarkan.

Teori sosio-psikologis tidak membenarkan kejahatan, tapi membantu kita memahami akar masalahnya agar kita bisa membangun masyarakat yang lebih adil, peduli, dan manusiawi. *

Dosen pengampu: Yesi Puspita, S.Sos, M.SI, Muhammad Thaufan A, S.Sos, MA

Jangan Lewatkan

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?